SEJARAH ASAL-USUL GUCI
Penulis : DtwGuci
DTW GUCI - Sejarah singkat dan asal-usul pemandian air panas Guci yang berada di Kabupaten Tegal, penamaan guci sendiri diberikan
oleh Sunan Gunung Jati. Guci merupakan salah satu tempat yang ada di Kabupaten
Tegal. Letaknya yang berada di bawah kaki Gunung Slamet membuat tempat
ini memiliki suasana yang cukup sejuk khas pegunungan. Sejarah Guci tidak lepas
dari perkembangan sejarah penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Wali. Sejarah
singkat dan asal usul penamaan pemandian air panas Guci kami kemas dari
berbagai sumber. Berikut kisahnya.
Pada tahun 1767 ada seorang bangsawan dari Keraton Demak
Bintoro, bernama Raden Aryo Wiryo yang merasa jenuh dengan keadaan dan
kehidupan keraton. Pasalnya seringkali terjadi konflik perang saudara dan
persaingan perebutan tahta di antara sesama saudara dalam lingkup keraton.
Keadaan itu membuat Raden Aryo Wiryo merasa jenuh dan berniat meninggalkan
keraton. Akhirnya dia berangkat meninggalkan keraton dengan mengajak
istrinya yang kemudian dikenal dengan Nyai Tumbu. Selang beberapa tahun
kemudian dia sempat mengabdi di Keraton Mataram pada zaman kejayaan Sultan
Agung Hanyorokusumo kemudian dia sempat pula ditugaskan oleh Sultan Agung untuk
berangkat ke Cirebon pada masa itu. Kemudian dia kembali mengembara hingga
sampai di lereng Gunung Slamet sebelah utara dan dia menetap di daerah tersebut
. Dia orang pertama yang
membuka lahan perkampungan di tempat itu sampai banyak orang berdatangan ke
daerah itu untuk berguru kepada Raden Aryo Wiryo dan akhirnya menetap di daerah
tersebut. Oleh karenanya Raden Aryo Wiryo memeberi nama tempat itu Kampung
Keputihan , (daerah yang masih asli tak terjamah peradaban agama selain Islam).
Suatu saat datanglah pengembara dari Pesantren Gunung jati yang merupakan santri
Syech Syarif Hidayatulloh atau Sunan Gunungjati bernama Kyai Elang Sutajaya
bermaksud menyebarkan agama Islam. Kemudian Raden Aryo Wiryo dan
pengikutnya berkenan mendalami ajaran agama Islam untuk lebih memantapkan
keimanan para pengikutnya. Pada saat itu kampung keputihan sedang
dilanda wabah pageblug seperti banyak tanah longsor dan penyakit gatal-gatal
(gudigen, bahasa setempat) sehingga Kyai Elang Sutajaya mengajak Raden Aryo
Wiryo dan warganya untuk berdoa kepada Alllah SWT. Doa tersebut melalui ritual yang
sekarang dikenal sebagai ruwat bumi dengan menyembelih kambing Kendit dan
menyajikan hasil bumi seperti Pala Pendem dan sayur mayur yang akan
disedekahkan kepada fakir miskin.
Acara ritual tersebut terjadi pada bulan Asyuro atau bulan
Mukharom dan turun temurun sampai sekarang. Pada saat berdoa dengan tasyakuran
Tahlilan dan Manaqib kala itu, Kanjeng Sunan Gunungjati berkenan hadir secara
ghoib dan memberikan sebuah guci sakti. Dimana guci sakti tersebut sudah diisi dengan do’a Kanjeng Sunan
agar penduduk Kampung Keputihan yang terjangkit wabah gatal segera meminum air
guci tersebut dan pojok-pojok Kampung Keputihan agar dipercikkan air guci
tersebut untuk menghilangkan kerusakan akibat bencana alam. Sehingga pada saat Raden Aryo Wiryo
berkeliling bersama Kyai Elang Sutajaya dia menemukan sumber mata air panas
dibawah sebuah Gua yang sekarang terkenal dengan nama Pancuran 13. Adapun guci sakti tersebut ditempatkan
di sebuah dukuh tempat Raden Aryo Wiryo biasa semedi, daerah tersebut sekarang
dikenal dengan nama Telaga ada di Dukuh Engang Desa Guci. Sehingga karena ke-keramatan guci
tersebut maka Kampung Keputihan dapat pulih kembali, bebas dari pageblug. Untuk
mengenang peristiwa tersebut maka Kampung Keputihan diubah namanya menajadi
Desa Guci.
Adapun guci sakti tersebut sekarang ada
di Museum Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes
memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa
Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes. Untuk membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan
nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai
Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan
darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah Belanda. Sampai sekarang tidak diketahui maksud
dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air
panas lain yang sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian
Pengasihan yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang
dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya. Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah
tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi
sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan
pusaka-pusaka lain yang berpamor welas asih. Sehingga tempat tersebut
dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian
umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat. Setelah Desa Guci semakin ramai maka
datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua,
yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I
Retribusi sekitar 350 m jaraknya. Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama Islam dia sering
melakukan semedi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat
hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya
dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah
dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.
Berita Populer
-
Kontingen Kabupaten Tegal Berhasil...
Dilihat : 300
-
Perang Strategi Bidik Target
Dilihat : 215
-
21 Group Marchingband Saling Adu Ha...
Dilihat : 143
-
Guna Meningkatkan Rasa Nyaman, Petu...
Dilihat : 132
-
Disporapar Berangkatkan 61 Atlet Ko...
Dilihat : 120
-
Rakor Aset BMD Tentang Appraisal Ta...
Dilihat : 103
-
Rakor Tindaklanjut Pemanfaatan Bara...
Dilihat : 86